Perlunya Layanan Kesehatan Mental di Kampus
Oleh: Nur Hidayah
Halo Sobat LPM
Pastinya kalian semua sudah tidak asing lagi dengan istilah “bonus demografi”, apasih memangnya bonus demografi itu? Bonus demografi yaitu dimana populasi usia kerja lebih besar dibanding populasi bukan usia kerja, dan ya sobat! Indonesia saat ini sedang mengalami periode tersebut. Mengacu pada hasil diagnosis dan analisis berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2020 yang dirilis oleh Badan Statistik, menunjukkan bahwa pada tahun 2020 mayoritas penduduk Indonesia berasal dari Gen Z sebesar 27,94% sendiri sobat!
Tapi ngomong-ngomong soal Gen Z, sobat LPM sudah paham belum artinya? Gen Z sendiri merupakan generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997 sampai dengan tahun 2012. Maka apabila dilihat dari dunia pendidikan, program sarjana khususnya didominasi oleh Gen Z. Sebagaimana data yang dikemukakan oleh Jaja Suteja (2020) dalam artikelnya yang berjudul Pendidikan Tinggi di Era Generasi Z, bahwa dengan asumsi kuliah di perguruan tinggi selama 4 tahun, bisa dibilang kalau mahasiswa sarjana saat ini didominasi oleh para Generasi Z dengan persentase sebanyak 75%. Dari angka tersebut mempresentasikan bahwa Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk berkembang karena memiliki banyak pemuda sebagai penerus bangsa, menarik bukan sobat?
Apabila kita melihat kehidupan media sosial saat ini, banyak postingan bahwa Gen Z sendiri memiliki kepedulian dan keterbukaan terhadap isu kesehatan mental, ini poin nilai tambah karena isu ini dianggap tak lazim dulunya, sementara kini mulai dinormalisasikan. Sayangnya dibalik kepedulian dan keterbukaan terhadap kesehatan mental, generasi ini banyak yang mengalami kecemasan berlebih, stress, bahkan depresi dibandingkan generasi sebelumnya. Kenapa hal tersebut bisa terjadi sobat? Mari kita lihat, bahwa Gen Z ini lahir dan hidup tumbuh bersamaan dengan kemajuan teknologi, termasuk media sosial yang memungkinkan Gen Z untuk mudah terdistraksi. Selain itu, tekanan hidup dan ekspetasi sosial yang tinggi, serta faktor lingkungan juga memengaruhi kesehatan mental pada Gen Z.
Lalu, apa pengaruhnya di dunia pendidikan? Pada saat ini mahasiswa dituntut untuk mampu bersaing dan memiliki kreativitas yang tinggi. Kondisi ini membuat beberapa dari mereka mengalami gangguan kecemasan dan stress, bahkan kita sering mendengar mahasiswa yang melakukan bunuh diri karena stress kuliah. Badan Pengembangan dan Pengkajian Keilmuan Nasional ILMPI pernah melakukan survei terhadap 4.485 mahasiswa berkaitan dengan permasalahan mental. Hasil survei periode 2019-2020 tersebut menyatakan bahwa perasaan cemas terus menerus menjadi permasalahan mental yang paling banyak dialami oleh mahasiswa, yakni sebanyak 1470 responden. Sementara permasalahan mental yang lain seperti merasa tertekan, merasa tidak berguna, tidak berminat dalam berkegiatan, ataupun mengalami sedih hingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
Kasus seperti hal ini, harusnya membuka pandangan terutama pada lingkungan pendidikan untuk membantu mahasiswa memiliki mental dan kondisi yang baik. Sayangnya layanan kesehatan mental di beberapa lembaga pendidikan di Indonesia belum diberikan. Pendidikan kita seakan masih hanya berpusat pada peningkatan prestasi belajar akademik. Pelayanan di bidang akademik gencar diadakan untuk dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Namun, kita melupakan bahwa hakikatnya kewajiban lembaga pendidikan bukan hanya pada peningkatan aspek kognitif, tetapi juga berkewajiban dalam membentuk karakter dan mental pelajar yang baik dan sehat.
Adanya layanan kesehatan mental di lingkungan pendidikan terutama perguruan tinggi merupakan salah satu upaya preventif dalam mengurangi risiko gangguan mental yang dialami oleh mahasiswa, maupun jajaran civitas academica. Terlebih, mahasiswa merupakan agent of change yang memiliki keterlibatan besar terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa. Oleh karena itu, ayok sobat! mari kita ciptakan generasi yang memiliki kesehatan mental yang baik sehingga dapat menyadari nilai diri sendiri dan dapat mengembangkannya untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Artikel
Oleh : Sunnah Fath Tasbih
Perkembangan zaman yang diiringi dengan gaya hidup masyarakat dipengaruhi oleh globalisasi dan modernisasi. Kedua hal ini telah menyentuh hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Tidak hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga bidang sosial budaya. Pola pikir masyarakat dalam menjalani kehidupannya juga mengalami perubahan seiring dengan perkembangan tersebut. Globalisasi merupakan kondisi dimana jarak antara negara yang satu dengan negara lain sudah tidak ada batas lagi. Aturan, budaya, norma dan lain sebagainya sudah mulai memudar. Globalisasi sangat berpengaruh terhadap perkembangan potensi dan kepribadian remaja saat ini.Remaja saat ini dikenal dengan istilah generasi Z. Generasi Z yaitu generasi terkini yang lahir sesudah tahun 1995 dan sampai tahun 2010. Generasi Z lahir dan dibesarkan di era digital, dengan aneka teknologi yang canggih, seperti: laptop, handphone, iPads, dan, internet. Sejak kecil, mereka sudah mengenal dan akrab teknologi.
Salah satu kemajuan teknologi yang paling pesat adalah dalam bidang teknologi informasi (internet) dan komunikasi. Dengan adanya internet, berbagai informasi dapat diakses kapan saja dan dimana saja, sehingga penyebaran informasi dapat berjalan cepat dan tidak mengenal jarak. Pengguna internet kebanyakan adalah remaja. Remaja adalah usia dimana seseorang ingin mencoba berbagai hal baru. Sehingga segala hal tentang internet dapat menarik perhatian. Dengan ketertarikan yang besar, menyebabkan keinginan untuk mengeksplor diri menjadi besar pula. Keinginan untuk dikenal dan diperhatikan oleh banyak orang melalui internet. Hal ini dapat menimbulkan perilaku-perilaku yang negatif. Misalnya menulis sesuatu yang sebenarnya sangat privasi milik orang lain, mengupload gambar orang lain yang kurang pantas, bahkan bisa pula mengolok-olok teman sendiri dalam sosial media. Padahal, perilaku meledek, menghina, atau memojokkan seseorang di internet termasuk dalam tindakan cyber bullying atau kekerasan dalam dunia maya (internet).
Bullying dapat dilakukan dengan mudah, bahkan terkadang tanpa sadar, apa yang dilakukan termasuk dalam cyber bullying. Cyber bullying atau kekerasan dunia maya lebih menyakitkan jika dibandingkan dengan kekerasan secara fisik. Korban cyber bullying sering kali depresi, merasa terisolasi, diperlakukan tidak manusiawi, dan tak berdaya ketika diserang. Intimidasi secara fisik atau verbalpun menimbulkan depresi. Namun, korban cyber bullying mengalami tingkat depresi lebih tinggi. Dampak dari cyber bullying untuk para korban tidak berhenti sampai pada tahap depresi saja, melainkan sudah sampai pada tindakan yang lebih ekstrim yaitu bunuh diri. Remaja yang stunting lebih rentan untuk stres dibandingkan yang tidak stunting. Penderita stunting secara signifikan sering merasa kurang bahagia, tertekan dan frustasi. Stunting memiliki asosiasi dengan konsentrasi kortisol yang meningkat. Remaja stunting sering merasa minder, malu, sedih, kesal dan merasa berbeda sendiri dengan orang lain terlebih pada saat mereka berada di lingkungan baru dengan orang yang baru. Mereka sering kali mendapat cemoohan baik dari teman sekelas maupun dari adik kelas, sehingga ada beberapa dari mereka sampai menangis, melamun dan marah akibat dari cemoohan yang mereka terima. Dampak psikologis pada korban bullying yang paling ekstrim diantaranya ketakutan, cemas berlebihan, depresi, bunuh diri dan stres pasca trauma. Salah satu cara mengatasi stres yaitu dengan rehabilitasi. Meskipun rehabilitasi tidak memastikan hilangnya stres pada remaja secara keseluruhan, tetapi rehabilitasi dapat membantu remaja mengatasi stres yang dialami.
Peran dan dukungan keluarga sangat penting dalam mengelola stres yaitu dengan cara menciptakan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga merupakan kondisi dinamik suatu keluarga yang menjamin keuletan dan ketangguhan, serta mengandung kemampuan fisik material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Ketahanan keluarga tidak hanya menjamin kesejahteraan lahir dan batin pada salah satu individu, melainkan seluruh atau masing- masing anggota keluarga. Keluarga harus memiliki kekuatan untuk dapat merubah setiap tekanan -tekanan yang menyebabkan timbulnya stres negatif menjadi stres positif yaitu dengan cara manajemen stres. Ketahanan keluarga berperan penting dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Keluarga yang tidak berfungsi optimal akan menimbulkan keresahan pada anggota keluarga, yang akhirnya berdampak pada perilaku kurang terpuji. Sebagai contoh, hubungan ayah dan ibu yang tidak harmonis dapat mengakibatkan peran orang tua menjadi tidak optimal. Kondisi ini dapat menyebabkan anak tidak mendapatkan pengasuhan dan berdampak pada kurangnya kedekatan antara orang tua dan anak. Lebih lanjut, situasi tersebut dapat berakibat pada penyimpangan perilaku anak, anak kurang bahagia, dan konflik dalam keluarga.