Penulis: Tsalis Sabrina
Hawa dingin ruang tamu terasa sangat menusuk kulit. Gadis
yang sedang menahan rasa kantuk itupun tak tahan lagi dengan dinginnya ruangan,
langsung beranjak mengambil selimut. Bukan untuknya, tapi untuk ayahnya. Iya,
ayahnya yang berbaring di tempat tidur yang berada di ruang tamu berbentuk
persegi panjang dengan luas 10x5 meter itu. Karena ayahnya sedang sakit, maka seluruh
anggota keluarga tidur di ruang tamu, soalnya kalau tidur di kamar masing-masing
terasa seperti mengabaikan ayah yang sedang sakit.
Namanya Lina, gadis berusia 18 tahun yang saat ini sedang
berjaga sepanjang malam karena ayahnya sedang sakit. Sudah seminggu lebih
ayahnya jatuh sakit, awalnya hanya demam biasa, tapi sakitnya semakin parah
sampai untuk bangkit dari tempat tidur saja harus dibantu dan makanan yang disuguhkan
sudah sering ditolaknya untuk dimakan.
”Mau ngapain dek?” tanya Yuni, kakak kandung Lina.
”Ngambil selimut untuk ayah,” jawab Lina.
”Adek tidur aja, besok pagi kita sudah harus berangkat,”
seru Yuni.
”Ayah udah tidur juga kan?” lanjut Yuni.
”Ayah tidak bisa ditinggal tidur, nanti kayak kemaren
infusnya dilepas di tengah malam,” sambut Lina.
”Engga...” ucap Yuni.
”Ayah tidurnya sudah nyenyak,” lanjut Yuni.
”Udah adek gapapa kok,” ucap Lina.
”Lagian adek juga belum ngantuk. Kalau adek ngantuk nanti
adek tidur, kakak tidur aja duluan,” jelas Lina untuk menghentikan kekhawatiran
Kak Yuni kepada dirinya.
”Yaudah kakak tidur ya,” ucap Yuni.
Lina terpaksa berbohong, sebenarnya sedari tadi ia sangat
mengantuk, tapi tetap ia tahan rasa kantuknya demi menjaga ayahnya. Karena
kalau tidak dijaga, ayahnya bisa saja melepas infus yang dipasang ditangannya seperti
malam kemarin. Benar saja, malam itu dua kali Lina melihat ayahnya berusaha
untuk melepas infusnya.
Ayahnya memang sangat anti dengan peralatan medis, karena
ia sangat takut disuntik. Awalnya diminta untuk dirawat di rumah sakit, tapi ia
bersikeras menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Sehingga ia memilih untuk rawat
jalan di rumah.
Keesokan pagi nya.
”Ayah mau makan nasi goreng ga? Kakak suapin ya!” ucap Yuni
yang duduk di sisi tempat tidur sambil menyendok nasi goreng di piring yang ia
pegang.
Dengan susah payah, ayah Lina tetap berusaha membuka
mulut menerima suapan Yuni. Pagi itu, Ayah Lina sudah terlihat membaik karena
sudah mau makan, meskipun hanya menerima sepuluh suapan nasi goreng oleh Kak Yuni,
tapi itu sudah ada kemajuan besar karena sebelumnya sama sekali tidak mau
makan.
”Adek jadi ikut kakak balik kampung?” tanya ibunya Lina.
”Iya buk, ayah juga kayaknya sudah membaik. Adek pengen
ngerasain lebaran di kampung, sudah lama sekali adek tidak lebaran di kampung,”
jawab Lina.
Lina selama ini ikut ibu dan ayahnya di kota.Yuni ketemu
jodohnya di kampung halaman mereka, jadi Yuni memang menetap di kampung. Namun,
karena kemarin dapat kabar kalau ayah sakit, Yuni datang ke kota untuk
menjenguk ayahnya. Kebetulan ayah mereka sakit pada saat akhir bulan Ramadhan. Yuni
datang ke kota hanya dengan anak-anaknya saja, suaminya tetap tinggal di kampung.
Karena besok sudah Hari Raya Idul Fitri, mau tidak mau Yuni tidak mungkin
membiarkan suaminya lebaran sendiri. Melihat ayah yang sudah membaik, Lina
ingin ikut Yuni balik ke kampung untuk lebaran dengan keluarga di kampung.
”Ayah kakak pulang dulu ya,” ucap Yuni.
”Nanti hari raya
kedua kakak balik kesini lagi sama mas Yusuf,” pamit Yuni ke ayah.
”Ayah, adek ikut kakak ke kampung ya!” ucap Lina sambil mencium
ayahnya.
Setelah mereka berpamitan dengan ayah, mereka juga
berpamitan dengan ibu. Lina dan Yuni berangkat menuju kampung kurang lebih pada
pukul sebelas pagi dan perjalanan untuk sampai di kampung kurang lebih memakan
waktu tiga jam karena memakai angkutan kota (angkot).
Setibanya di kampung.
”Eh kok lumayan ini pengunjungnya, kakak buka warung lah
dek,” ucap Yuni kepada Lina.
”Yauda adek bantuin nyusun-nyusun juga ya,” sambut Lina.
Oh iya FYI, di kampung tempat mereka tinggal
merupakan sebuah tempat wisata, kebetulan saat mereka tiba di kampung lagi ada
pengunjung.
Baru setengah jam mereka buka warung, kurang lebih pada
pukul tiga sore Lina mendapat telepon dari ibu.
”Assalamu’alaikum buk,” ucap Lina saat mengangkat telepon
dari ibunya.
”Wa’alaikum salam, dekk...” jawab Ibu sambil menangis.
”Bukkk? Kenapa bukk?” tanya Lina dengan khawatir karena
mendengar ibunya menangis.
”Dekk ayahh dekk...”
”Iyaaa ayah kenapaa bukk?”
”AYAH UDAH GA ADA DEK,” tangisan Ibu Lina semakin pecah
setelah mengucap kalimat itu.
DUARRR
Saat itu rasanya hati Lina hancur sehancur-hancurnya. Bumi
seakan-akan ikut berhenti bergerak di radarnya mendengar ayah Lina sudah
berhenti bernafas. Dada Lina sangat sesak, hati dan otaknya masih menyangkal
bahwa ayahnya sudah tidak ada, sehingga air mata sangat sulit untuk keluar menangisi
hal itu. Ia hanya diam terpaku setelah mendengar kalimat itu.
”Dekk ayah kenapaaaa?” tanya Yuni melihat adiknya yang
tiba-tiba terpaku.
Yuni langsung mengambil HP yang ada di genggaman Lina.
”Bukkkk ayahh kenapaaa?” tanya Yuni.
”Ayah udah gaadaaaa kak,” jawab Ibu sambil menangis.
”Innalillahi wa innailaihi roji’un, ayahhhhh,” tangis Yuni
pun pecah.
Lina tidak menyangka secepat itu kah ayahnya pergi
meninggalkannya? Padahal sebelum ia pergi kondisi ayahnya sudah membaik.
”KENAPA AKU MALAH PERGI KE KAMPUNG?”
”Kenapa aku tidak peka bahwa hari ini adalah hari
terakhir aku melihat dia masih bernafas?”
”Kenapa aku tidak ada disampingnya saat dia menghembuskan
nafas terakhirnya?”
”Kenapaaaa?”
’”Aku egois banget yaaa.”
Seketika seribu
pertanyaan dan pernyataan muncul di kepala Lina. Ia terus menyalahkan dirinya
sendiri, hatinya sakit seakan tertusuk jarum.
Ayahnya akan dimakamkan di kampung, maka mereka harus
menjemput jenazahnya dulu ke kota. Lina sangat menyesali hari itu, ia masih
terus menyalahkan dirinya sepanjang perjalanan menjemput jenazah ayahnya.
Tiba nya di kota, mereka disambut dengan mobil pawai
takbiran yang bersiap untuk pergi keliling kota. Malam takbiran yang seharusnya
momen yang menyenangkan namun malam itu menjadi malam yang penuh air mata bagi
Lina. Siapa sangka dahulu ketika melihat atau mendengar berita duka Hari Raya Idul
Fitri Lina selalu bergumam,
”Kasihan banget keluarga yang ditinggalkan ya, harusnya lagi
lebaran malah berduka,”
saat ini malah ia yang berada di posisi itu. Memang kita
tidak ada yang tahu kematian seseorang itu kapan datangnya, bahkan kematian
kita sendiri saja kita tidak tahu.
Hari raya bukannya sholat Ied malah sholat jenazah ayah
sendiri, itu yang ada dipikran Lina saat menyalatkan ayahnya hari itu.
Sampai sekarang ketika malam takbiran Lina masih selalu
teringat situasi yang sangat menyedihkan itu, semua kejadian masih terasa
seperti baru terjadi kemarin. Hari raya tahun-tahun berikutnya bagi Lina tidak
ada yang spesial, tidak seperti dahulu ketika hari raya Lina selalu bersemangat
untuk menyambutnya. Sampai sekarang juga Lina masih terus menyalahkan dirinya
sendiri kenapa ia harus pergi ke kampung saat itu.